Senin, 19 Juli 2010

TIME

Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan.
Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahsia dari masa muda yang abadi.
Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan.
Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan.
Ambillah waktu untuk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan.
Ambillah waktu untuk bersahabat, itu adalah jalan menuju kebahagiaan.
Ambillah waktu untuk tertawa, itu adalah musik yang menggetarkan hati.
Ambillah waktu untuk memberi, itu adalah membuat hidup terasa bererti.
Ambillah waktu untuk bekerja, itu adalah nilai keberhasilan.
Ambillah waktu untuk beramal, itu adalah kunci menuju syurga.

Rabu, 02 Juni 2010

Tuhan semua Agama

Sedikitnya ada empat persoalan fundamental yang muncul jika kita berbicara mengenai Tuhan. Yang pertama, Seberapa jauhkah manusia bisa mengenal Tuhan dengan Benar?. kedua Bisakah Tuhan Yang Absolut dikenali oleh manusia?. Ketiga, Adakah dengan banyaknya nama Tuhan berarti secara ontologis juga terdapat banyak Tuhan?. Keempat, Adakah kesamaan antara Tuhan yang dipuja oleh orang yang beragama Yahudi, Kristen, Islam, & Pemeluk agama-agama lain? Itulah mengapa lahir istilah hanya ada satu tuhan dan dengan banyak nama.
Beranjak dari persoalan ini penulis mencoba untuk membahas satu diantara. Pluralitas nama Tuhan yang dikenal dalam berbagai tradisi pemikiran keagamaan.
Sejarah Tumbuh Kembangnya Monoteisme & Politeisme
Monoteisme merupakan sebuah aliran kepercayaan yang meyakini bahwa Tuhan adalah satu , sedangkan Politeisme adalah kepercayaan bahwa manusia memiliki banyak Tuhan. Apakah Tuhan Monoteisme lebih dahulu muncul ataukah Tuhan Politeisme?
Menurut Komar & Nafis bahwa Monoteisme muncul lebih awal, sebagaimana yang mereka berdua kutip dari Wilhem Schmidt dalam bukunya The Origin of the Idea of God (1912), sedangkan peneliti yang paling otoritatif dalam pembahasan terhadap sejarah Tuhan adalah karen Amstrong yang pernah ditulis pada karyanya A History of God, The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity ad Islam (1993). Kemudian persoalan kepercayaan terhadap keyakinan Tuhan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan beralih kepada Politeisme. Sehingga agama-agama Semitik sesungguhnya bukanlah hal yang baru akan tetapi merupakan mempertegas & memperjelas kembali paham yang telah ada karena beberapa faktor maka ajaran tersebut menjadi samar-samar.
Dalam sejarahnya, manusia menyebut Tuhan Yang Esa dan Mutlak itu dengan bebagai nama dan Istilah, namun secara substansial, beragama itu menunjuk kepada Dzat yang sama. Tuhan sebagai wujud Absolut inilah yang dijadikan obyek pujaan karena fungsi dan posisi-Nya yang diyakini oleh manusia sebaga pencipta maka antara Tuhan dan manusia selalu ada “jarak” yang amat jauh sehingga manusia bersikap “paradoksal” dalam memposisikan Tuhan. Dikatakan paradok bahwa Tuhan dianggap memiliki jarak yang amat jauh bahkan manusia tidak sampai kepada Tuhan ini disebut dengan transcendent, sedangkan lawan dari itu adalah immanent bahwa sekaligus bersama & didalam diri manusia. Konsekuensinya, maka Yang Satu & Absolute karena tidak mungkin “ditaklukkan” oleh kapasitas pemahaman nalar manusia- ditangkap kehadiran-Nya melalui simbol-simbol yang disakralkan sehingga di mata manusia lalu muncul bentuk Tuhan-tuhan yang plural.
Sepanjang zaman memang Tuhan menjadi teka-teki intelektual sehingga mendorong para teolog¬¬¬¬¬¬¬ (dalam hal ini Nabi) & filosof mencari-cari pemahaman tentang Tuhan. Namun, pemahaman para filosof seperti Aristotle berusaha menemukan Tuhan melalui pikirannya dan hasilnya ia menyimpulkan bahwa konsep Tuhan dicipta dari teori fisika yang problematik. Hal ini senada apa yang diungkapkan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi pada abstraknya:
“Aristotle’s concept of God, which was known as Unmoved Mover is established from the theory of physics. His renowned theory is that God is pure actuality and does not undergo any change”.
Konsep Tuhan Aristotle yang terkenal dengan nama Unmoved dicipta dari teori fisika. Teori yang terkenal itu menyatakan bahwa Tuhan adalah aktualisasi murni dan tidak mengalami perubahan sedikit pun. Oleh sebab itu Gerson menyimpulkan bahwa Aristotle tidak mempunyai nalar metafisika yang untuk membuktikan adanya wujud yang memiliki aktualitas sempurna. Inilah yang menjadi kelemahan Aristotle ketika mentransfer argumentasi fisika ke dalam argumentasi metafisika. Untuk menjadi seorang monoteis bisa saja seseorang memperolehnya tidak harus melalui teks-teks Kitab Suci melainkan bisa juga melalui penalaran, pengalaman dan perenungan hidup. Terkait dengan ada kekuatan Gaib maka Komar & Nafis memberikan uraian bahwa Tuhan itu adalah misteri, dalam arti manusia memang meyakini akan kekuatan dan keberadaan-Nya, namun manusia merasa tidak mampu secara pasti dengan kekuatan nalar dan indranya. Tetapi Dia sembunyi di balik tabir. Jika Tuhan adalah Maha Gaib, maka diluar Tuhan banyak juga hal-hal yang Gaib seperti halnya fenomena roh.
Terminologi Nama Tuhan
Bahasa sekali waktu bisa dipahami sebagai alat (tool), seperti halnya pisau, bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan perasaan senang, sedih, prihatin dan lainnya dismping itu bahasa juga bias menjadi alat penamaan atau labelisasi terhadap sebuah obyek .
berbicara tentang ihwal nama yang bernuansa pada pembahasan jelas antara perbedaan religious language dan scientific language. Kemudian ada pertanyaan bagaimana mungkin manusia dapat mempertahankan pendapatnya sedangkan manusia sudah sepakat bahwa Tuhan diluar jangkauan manusia. Dan bagi agnostisisme pernyataan Tuhan ada ataupun Tuhan tidak ada, keduanya sama saja nilainya karena kedua proposisi tidak dapat diverifikasi.
Scientific language atau bahasa ilmiah kadang bagi Ludwig Wittgenstein salah seorang tokoh filsafat analitik , ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya keterbatasannya bahasa ilmiah untuk mengungkapkan kompleksitas dunia manusia, Jumlah perbendaharaan kata dan kalimat yang mampu disusun oleh manusia tidak akan mencukupi untuk menunjukkan dan menerangkan realitas alam semesta yang sangat akbar. Begitu juga halnya dunia batin manusia banyak yang tersisa dan tak terwakili oleh kata-kata. Apa yang tidak terkatakan tidak berarti secara ontologis tidak ada.
Persoalan nama sejatinya merupakan pembahasan pokok pada semiotika atau semiologi, ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti tanda. Dalam kehidupan primitive pengidetifikasian tuhan melaui symbol atau lambang telah ada, nama tuhan sering diambilkan dari nama binatang atau tumbuhan totem mereka.
Setiap manusia merasa kenal Tuhan sehingga manusia menyebut Tuhan ketika ia berdoa , dalam bahaya, mendapat musibah ataupun mendapat kebahagiaan. Dalam tradisi keagamaan masyrakat banyak nama Tuhan, dan tempat yang disucikan tetapi pada dasarnya tidak ada yang memiliki kesucian yang absolut kecuali Tuhan. Dalam Islam dapat di contohkan bahwa ka’bah merupakan tempat suci umat Islam tetapi ka’bah sendiri tetap saja kesuciannya tidak intrinsik. Dalam artian hanya sebagai simbol persatuan & perekat umat dalam menunaikan kewajiban yang dibebankan seorang muslim terhadapnya. Seperti shalat lima waktu yang harus menghadap ka’bah, kemudian haji pada bulan tertentu dilaksanakan di Masjidil Haram. Jika seorang muslim mensucikan Allah sejajar dengan Ka’bah maka ia telah dianggap musyrik sebab keyakinannya tidak jauh berbeda dengan orang-orang jahiliyah sebelum datang Islam menyembah patung & berhala.
Dalam Islam nama “Allah” itu sendiri sering dinamakan “ism al-jalalain” atau “ism al-jam’, yaitu nama yang mencakup dan mewadahi semua nama-nama Tuhan yang lain. Dengan begitu, maka Allah mengacu pada Tuhan dalam ke-Absolut-annya, suatu dzat yang maha Akbar dan Gaib, yang hakikat kualitas-Nya tidak mungkin dideskripsikan oleh penalaran manusia.
Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Maha Ghaib , seperti kata ibn Arabi. Sesungguhnya tidak memerlukan nama. Bila diberikan nama Dzat tersebut maka sesungguhnya nama apapun tidak akan tepat sebab jika yang absolut bisa didefinisikan maka ia tidak lagi absolut. Menurut Lao-tze bukankah definisi berarti juga sebuah pembatasan dan penciutan dari sebuah realitas. Namun Lao-tze ada kelemahan ketika kita berbicara Allah maka sebenarnya yang memberi nama bukan manusia itu sendiri melainkan Tuhan yang memberi nama bagi dirinya sendiri. Dapat tampak pada surat al-Ikhlas ayat satu, “Katakanlah, Hai Muhammad Dialah Allah yang satu.”
Kemudian, jika Tuhan begitu Absolut, tanpa nama, dan bebas dari yang dibayangkan manusia, lalu bagaimana seorang yang beriman mesti menyapa Tuhan? Dalam istilah Ibn Arabi sebagai tajalli (self manifestation) atau kehadiran Tuhan dalam makhluk-Nya. Semua makhluk ini sujud dan mensucikan Tuhan. Tetapi hanya manusia yang sujud serta pujiannya yang paling tinggi nilainya.
Tuhan Dalam sejarah
Dalam sejarah pemikiran manusia, seperti diungkapkan oleh Amstrong, telah jelas bahwa pertama umat manusia sudah mampu menangkap tentang adanya satu kekuatan yang mengatasi dan Maha Kuat, yang diyakininya telah menciptakan dan menguasai kehidupan umat manusia. Artinya bahwa pengetahuan tentang adanya Tuhan telah sadar dimiliki oleh setiap orang. Oleh karena itu manusia disebut homo religious. Kesadaran ini sangat esensial bagi masyarakat tradisional.
Dalam perkembangannya, kepercayaan kepada adanya tuhan yang maha kuasa ini digambarkan oleh manusia atau komunitas menurut daya jangkau akalnya masing-masing. Sifat yang diberikan kepada tuhan juga beragam dan jumlahnya pun menjadi berbeda antara satu masyarakat penganut agama dan masyarakat lainnya.
Dapat dimisalkan bahwa masyarakat sejak awal sudah memiliki satu pengalaman (bersifat psikis) mengenai adanya kekuatan misterius. Kekuatan itu yang diyakini oleh masyarakat ketika itu, yang menempati beberapa posisi dialam dunia ini, pohon besar, binatang, bebatuan. Ini disebut oleh masyarakat dikepulauan laut selatan sebagai mana, di masyarakat latin disebut dengan numina, yang terdapat di hutan. Dan di Arab disebut dengan Jin. Ketika itu mereka mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan yang tidak bisa dilihat itu dan menjadikan sebagai tuhan-tuhan sesembahan, maka diasosiakanlah semua itu dengan angin, matahari, laut, binatang-binatang. Bahkan masyarakat mengekspresikan sesuatu yang aneh-aneh (85).
Rudolf Otto berbicara bahwa perasaan-perasaan itu disebut olehnya adalah “numinous” yaitu dasar setiap agama. Dalam bukunya The Idea of The Holy. Numinous itu sendiri adalah perasaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan tinggi yang tidak bisa dijangkau dan dikuasai manusia. Perasaan inilah yang tampaknya mendahului segala mendahului minat dan hasrat untuk mendapatkan kejelasan tentang asal-usul dunia sebagai basis bagi etika perilaku (behavior). Kemudian numinous ini kemudian diyakini manusia dengan berbagai macam dan berbeda-beda. Kadang ia diinspirasikan dengan suatu kebuasan yang menyeramkan, ketenangan, kekuatan misterius. Akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak disertai dengan penjelasan literal terhadap gejala-gejala yang alamiah.

Tuhan di Masa Modern
Pada intinya Tuhan di masa Modern khususnya dalam pemikiran Barat telah digugat. Sebagaimana Marx yang menegaskan bahwa agama adalah candu masyarakat, yang karenanya agama harus ditinggalkan. Puncak penolakan terhadap agama disuarakan oleh Nietzhe dengan statemennya yang banyak dikenal orang “The God is dead”.
Kemunculan gagasan-gagasan semacam itu mungkin diakibatkan oleh adanya ketidakmampuan sistem keimanan yang berlaku di sana untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat modern dengan ilmu pengetahuannya. Kemajuan yang dapat dikatakan berhasil sangat percaya pada iptek, akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama. Iptek yang landasan pokoknya bersifat sekuler bagi sebagian besar orang di Barat akhirnya menggantikan posisi agama. Dan dalam bahasa sosiologi agama, bahwa Agama telah tertinggal jauh atau tak dapat menyeimbangkan kecepatan iptek tersebut. Dari sini masyarakat Barat karena sangat mendewakan teknologi maka ia mengalami apa yang dinamakan dengan krisis epistemologis sebagaimana Nurcholish Madjid mengkutip pernyataan Baigent.
Dan pada akhirnya penulis berusaha dan mengupayakan kebangkitan kembali kesadaran awal yang dimilki manusia yang secara gradual akhirnya menghilang dari kesadaran sebagian orang, akibatnya cara pandang dan gaya hidup yang modern. Dialah satu kekuatan yang dimiliki oleh setiap tradisi keagamaan yang dibungkus dengan berbagai bentuk dan hadir dengan berbagai nama. Wallahu ‘alam bishawab. [A3]

Daftar Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005)
Agus, Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Anthropologi Agama, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)
Komaruddin hidayat, memahami bahasa agama; sebuah kajian hermeneutic, (Jakarta, paramadina, 1996)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2005)
Palmer E. Richard, Hermeneutika, Teori Baru Mengenal Interpretasi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005)
Tim Penyusun Departemen Agama & IAIN Jakarta, Fenomenologi Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN Di Jakarta Direktur Jendral Pembinaan Kpelembagaan Agama Islam, 1983/1984) Zarkarkasyi, Hamid Fahmy, “The Nature of God in Aristotle’s Natural Theology”, dalam Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam, Volume 4, Nomor 1, Zulq’dah 1426 (39-54)