Hari Raya Qurban Sebagai Momentum Tazkiyatun Nafs
Arif Maulana Al-Lomboqy
Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah….(Al-Kautsar 1-2)
Maha suci Allah, Dzat yang telah mengaruniakan kepada hamba-hambanya Kemampuannya untuk bermakrifat kepada-Nya. Dan sungguh kemuliaan dan keutamaan manusia yang melebihi makhluk-makhluk ciptaan Allah Iainnya itu adalah karena kemampuan untuk bermakrifat kepada-Nya. Dan sesungguhnya makrifat kepada Allah hanya dapat dilakukan dengan hati (kalbu), bukan dengan anggota tubuh yang lain.
Hatilah yang bergerak menggerakkan untuk mendekat kepada Allah, bekerja karena-Nya, berjalan menuju-Nya, dan bahkan hanya dengan hati sajalah manusia mampu menyingkap apa-apa yang ada di sisi Allah dan yang ada padanya-Nya. Nyatalah bahwa peran dan kedudukan hati atas anggota lainnya adalah teramat vital. Ia seumpama raja yang berkuasa penuh mengatur rakyatnya Kalau sang raja baik, maka ia akan mengatur rakyatnya ke arah yang baik dan menganjurkan mereka agar berbuat yang baik pula, sehingga terhindar dari tujuan- tujuan lain selain Allah. Ushikum wa iyya ya nafsi bitaqwallahi.
Tapi sebaliknya, bila rajanya zhalim, jahat, aniaya dan menganjurkan kepada yang munkar, akan terseretlah rakyatnya ke sesuatu selain Allah, yang akibatnya rentetan bencanalah yang akan menimpa rakyat yang diaturnya itu, akibatnya terhijablah mereka dari mengenal Allah SWT. Pantaslah kalau Rasulullah SAW bersabda, "Ingatlah dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh itu, tetapi hila ia rusak, maka akan rusak pula tubuh itu seluruhnya, (ketahuliah bahwa) segumpal daging itu adalah hati (kalbu)," (H.R, Bukhari Muslim]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar melalui Aisyah r.a bahwa Nabi SAW bersabda, "Manusia itu kedua matanya adalah pemberi petunjuk, kedua telinganya adalah corong, lidahnya adalah juru bahasa, kedua tangannya adalah sayap, kedua kakinya adalah pos, sedangkan rajanya adalah hati. Maka apabila raja itu baik, maka baik pula tentara-tentaranya" [AI Hadits].
Maka, sungguh meneliti dan mengoreksi hati adalah hal yang perlu terus menerus kita lakukan agar hati kita ini senantiasa terkontrol kondisinya. Ditinjau dari segi hidup- matinya hati, Dr. Ahmad Faridh dalam kitabnya, Tazkiyat An Nufus. Kitab yang berisi pemikiran Imam Ibnu Rajab AI Hambalit, AI Hafizh Ibnu Qayyim AI Jauziyah, dan Imam AI Ghazali - membagi hati manusia ke dalam tiga karakter.
1. Hati yang sakit (al Qalbu al Maridh). Perumpamaan bagi orang yang hatinya sakit adalah ia tak ubahnya seperti gelas kotor dan kusam yang tak pernah dibersihkan, lalu diisi air keruh. Perhatikanlah, bahwa jangankan memasukan sebutir debu yang kasat mata ke dalamnya, benda-benda seperti paku payung, jarum, silet atau pula patahan pisau cutter sekalipun tidak akan tarnpak terlihat. Yang terlihat tak pernah berubah, yaitu hanya kotor dan kusamnya gelas. Perumpamaan lain bagi orang yang hatinya sakit, ialah ibarat cermin, ia adalah cermin yang tidak terawat, sehingga penuh noktah-noktah (titik-titik) hitam. Mulanya mungkin hanya satu noktah, namun dari hari ke hari noktah tersebut terus bertarrbah. Akibatnya setiap benda, sebagus apapun yang disirnpan di mukanya, akan tampak lain pantulan bayangannya. Setidak-tidaknya bayangan benda itu tampak buram dan lebih buruk dari aslinya. Apalagi yang bercermin di depannya, siapapun dia, niscaya akan merasa kecewa. Sebab, sebagus dan serapih apapun dandanannya, bayangan yang terpantul dari cennin akan tampak buruk dan kusam begitulah hati yang sakit. la akan tampak penuh noktah hitam dan noktah itu akan terus bertambah" Dari waktu ke waktu, Hari ini melekat noktah riya, esoknya melekat noktah ujub, hari lusanya mungkin noktah iri dengki, lain kali noktah berniat buruk, su'uzhon, berkata-kata Sia-sia, lalai menjaga pandangan, dan seterusnya, Akhirnya hati pun penuh tumpukan noktah-noktah hitam. Jadilah ia qolbun maridh! Naudzhibillah.
Orang yang menderita qolbun maridh (hati yang sakit) akan sulit menilai secara jujur apapun yang tampak di depannya, Melihat orang sukses, timbul iri dengki, Mendapat kawan beroleh karunia rizki, timbul resah, gelisah, dan ujung-ujungnya menjadi benci, Dihadapkan pada siapapun yang memiliki kelebihan, hatinya akan serta merta menyelidki bibit-bibit dan kekurangannya, bila sudah ditemukan, hatinya pun akan senang bukan kepalang, Ibarat menemukan barang berharga, ia pun lalu mengumbar dan mengabarkan bibit dan kekurangan orang itu kepada siapa saja, agar kelebihannya menjadi tenggelam, naudzhubillah.
Adapun ciri lainnya dari hati yang sakit adalah cenderung gemar terhadap makanan ruhani yang memudharatkannya, tetapi sangat enggan terhadap santapan ruhani yang bermanfaat. Ia biarkan penyakit yang berbahaya karena enggan minum obat yang berguna. Sedang hati yang sehat dan selamat akan menerima obat ruhani yang menyehatkan dan meninggalkan makanan ruhani yang menyesatkan dan membahayakan.
Padahal sungguh tiada santapan ruhani yang paling bermanfaat, selain iman, sedangkan sedangkan obatnya yang paling efektif ialah mernbaca AI-Quran. Walhasil, hati yang sakit adalah hati yang hidup, namun mengandung penyakit. Di dalam qolbun maridh disatu pihak terdapat mahabbah (kecintaan) kepada Allah: iman, ikhlas, dan tawakkal kepada-Nya. Di pihak lain, terdapat rasa cinta terhadap hawa nafsu, rasa tamak untuk meraih kesenangan, mementingkan kehidupan dunia, dan hal-hal lainnya.
2. Hati yang mati (at Qalbu al Mayyit)
Hati yang mati adalah hati yang sepenuhnya dikuasai hawa nafsu sehingga ia terhijab dari mengenal Tuhannya. Hari-harinya adalah hari-hari penuh kesombongan terhadap Allah, sama sekali ia tidak mau beribadah kepada-Nya, dia juga tidak mau bersama hawa nafsu dan keinginan-nya walaupun sebenarya hal itu dibenci dan dimurkai Allah.
Tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah, Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût manusia menjadi bening. Dan momentum idul adha adalah saat yang tepat untuk kembali kepada kesucian diri dengan cara berkurban, hari dimana “deposito” kita dinilai sedikitnya 700 kali lipat dengan kecepatan perhitungan yang tiada tandingannya, itulah harga dari sebuah ketulusan pengorbanan. Berkorban dengan apa saja yang bisa dikurbankan, materi, waktu, tenaga dan lainnya. Maka sangat beruntunglah orang yang mampu dan mau melaksanakan qurban di tiap tahunnya.
Pada hari ini, seluruh umat Islam di seantero dunia bersuka cita, riang gembira menyambut datangnya hari raya Idul Adha. Satu dari dua hari raya umat Islam yang sarat nilai dan makna, hari yang istimewa dan bersejarah, sehingga menjadikannya hari yang pantas dimeriahkan dan hari yang seharusnya dirayakan.
Ada dua peristiwa penting berskala global dan universal, dalam konteks orang-orang yang beriman tentunya, yang terjadi pada hari Idul Adha ini. Pertama, prosesi ibadah haji, yang merupakan ajaran pokok (rukun) Islam kelima dan yang Kedua, penyelenggaraan ibadah qurban (menyembelih binatang qurban), yang merupakan simbol dan sekaligus bukti nyata sebuah keimanan dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya.
Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji bukanlah sekedar ritual formal, dan bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan merupakan rukun Islam yang memiliki sejumlah keistimewaan dan keutamaan. Betapa tidak, sebagai sebuah ajaran pokok; tiang utama, ia tidak serta merta wajib ditunaikan. Ia diwajibkan “hanya” kepada orang-orang yang mampu dan sanggup.
Diantara keistimewaan ibadah haji adalah bahwa ia tidak dapat dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat. Waktunya telah ditentukan dalam rentangan bulan Syawwal sampai dengan bulan Dzulhijjah dan dalam beberapa hari tertentu pula. Dan tempatnya pun demikian juga; Makkah, Arafah, Mina dan Muzdalifah.
Dengan demikian, apabila ada gagasan, ide atau pemikiran yang dianggap paling cemerlang sekalipun misalnya ada yang hendak merubah waktu penyelenggaraan haji, dengan alasan menghindari kepadatan jama'ah, mengantisipasi bahaya desak-desakan antar jamaah, mengatasnamakan sebuah peremajaan dan inovasi beribadah, atau bahkan dengan alasan mencari kekhusyu'an sekalipun, maka sudah barang tentu gagasan semacam itu sama sekali tidak dapat diterima.
Waktu dan tempat yang sudah ditentukan semacam itu merupakan simbol kekuasaan dan keesaan Allah yang harus difahami, dihayati dan diamalkan secara optimal. Semoga suatu saat kita yang belum melaksanakan ibadah teramat mulia ini diberikan kesempatan oleh Allah, Amin.
Peristiwa besar kedua pada kesempatan hari raya Idul Adha seperti ini adalah penyembelihan binatang qurban. Selain dari sudut pandang hukum Islam atau syariah yang menyatakan bahwa menyembelih binatang qurban itu sunnah atau dianjurkan, dari aspek kesejarahan, ibadah qurban memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang dan kandungan nilai yang sangat dalam.
Adapun dasar hukum anjuran dan diperintahkannya menyembelih binatang qurban, antara lain firman Allah SWT :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوْا اسمَ اللهِ عَلَى ما رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الأَنْعَامِ فَإِلهُكُمْ إلهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوْا و بَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ ﴿الحـج : 34﴾
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Diciptakannya binatang ternak bagi umat manusia adalah untuk diambil manfaatnya, baik sebagai alat bantu pengangkutan, dipelihara atau untuk disembelih. Dan itu semua diantara bentuk rizki Allah yang diberikan kepada umat manusia. Oleh sebab itu, pada saat ada perintah untuk menyebelihnya, baik untuk qurban atau kepentingan lainnya, ditegaskan agar selalu menyebut nama Allah; membaca basmallah, ingat kepada Allah. Sehingga ibadah yang dilakukan benar-benar tepat sasaran; berdaya guna dan berhasil guna. Membuahkan pendekatan diri kepada Allah; keimanan yang benar kepada Allah dan menjadi sarana untuk menjalin tali silaturrahim dan jalinan kehidupan sosial yang harmonis, maka jelaslah dengan ibadah semcam ini akan tampak nuansa sosila yang mengedepankan ukhuwah islamiyah. Karena sesugguhnya yang sampai di hadapan Allah dan diterima oleh Allah SWT bukanlah darah yang kita tumpahkan, dan daging yang kita makan dan kita bagi-bagikan, melainkan keihlasan dan ketaqwaan kita, kejujuran dan keistiqomahan kita dalam melaksanakan perintah Allah.
لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا و لا دِمَاؤُهَا ولكِنْ يَنَالُهُ التَقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj 37).
Dan yang terakhir, penulis mengajak kita semua untuk memperbaharui dan selalu berdoa kepada Allah untuk selalu memperbaiki niat kita, menjaga niat selama menjalankan ibadah dan akhirnya menerima niat kita Amin Ya Rabb. Wallahu A’lam bishawab. A3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar