Rabu, 19 Oktober 2011

Bangsa Buangan Yang Gatal Untuk Terus Berkuasa by Arif Maulana Al-Lomboqy

Kebiadaban kaum Yahudi terhadap warga Palestina masih berlangsung. PBB sudah mengecam, Dunia Islam melalui OKI-nya telah mengutuk dan mengajukan resolusi ke Dewan Keamanan PBB. Tapi semua itu kandas karena diveto oleh Negara yang memang menginginkan kebiadaban tersebut terus berlangsung, Amerika Serikat (AS) dan Prancis. Di Indonesia sendiri, demo menentang perlakuan kejam Israel silih berganti. Hampir tak ada kata-kata lagi yang bisa menggambarkan kekejaman dan kekejian Yahudi Israel.Anehnya, masih ada media massa di Indonesia yang menggunakan istilah “militan Palestina” untuk pejuang Palestina. Istilah yang tidak disematkan kepada penguasa Zionis Yahudi dan para pendukungnya, yang terang-terangan membantai warga sipil Palestina. Terjadi demonisasi dan kecurangan, sehingga seolah-olah darah para pejuang Palestina memang “halal” ditumpahkan dengan cara apa saja.
Seperti biasa, Yahudi tak menggubris suara dunia, apalagi suara umat dan dunia Islam. Sepertinya Israel sudah hafal irama respons kaum Muslim. Jika dibantai, dibunuh, dianiaya dan sebagainya, umat islam paling-paling hanya akan mengeluarkan resolusi atau kecaman. Paling jauh melakukan aksi demonstrasi, Membakar bendera Israel dan AS. Setelah itu, diam. Semoga semua perkiraan mereka tentang islam adalah salah dan perjuangan umat Muslim tak berhenti sampi disitu saja.
Tapi serangan bangsa Yahudi tentu bukan tanpa alasan. Serangan mereka ke Palestina tidak lain untuk merebut kembali tanah yang telah dijanjikan Tuhan mereka, karena mereka memiliki dan masih mempercayai ‘Tanah Perjanjian’ atau ‘Tanah yang Dijanjikan (The Promised Land, Arab: Ardh al-Maw‘id). dan serangan mereka kemungkinan akan dilanjutkan ke seantero Arab, dan negara-negara Islam lainnya tinggal menunggu waktu saja jika memang negara-negara Islam hanya tinggal diam menerima nasib dadakan tersebut. Mereka memang punya keyakinan sebagai The Chosen People (al-Sya‘b al-Mukhtār). Sehingga mereka disebut oleh Tuhan mereka sebagai bangsa yang “suci” (sya‘b muqaddas). Dengan itu ada perasaan paling... dan lebih ketimbang bangsa yang lainnya. Tapi itu kan dulu!.
Dengan begitu, mereka boleh membantai siapa saja. Dan mereka boleh menguasai negara Palestina, bahkan negara lainnya (seperti Lebanon, Yordania dan Mesir) secara paksa. Karena menurut mereka itu adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka. Untuk meluluskan maksud mereka itu, terbentuklah satu paham keagamaan yang nantinya berubah menjadi isu politik, yaitu Zionisme. Dan salah satu isu politik yang nantinya berhasil terus diusung adalah membentuk “Negara Yahudi”.
Zionisme sendiri berasal dari kata Ibrani, “zion” yang artinya karang. Maksudnya, merujuk batu bangunan Haykal Sulaman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama “Zion”, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds (Jerusalem). Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masīh yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masīh akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri. Jadilah ia kini sebagai sebuah gerakan yang sangat menakutkan. Sesuai dengan namanya ia sangatlah keras bagai batu karang, hal ini sesuai dengan sifat mereka yang juga sangat keras kepala.
Zionisme, kini tak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi kemudian telah beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan kembalinya bangsa yang terbuang (kaum Yahudi) yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya.
Klaim-klaim Zionisme-Israel adalah murni “khurafat biblikal” atau mitos akan alkitab sebagai kitab menurut kejadian awalnya, dimana Tuhan dipersonifikasikan sebagai manusia pendendam dan cinta perang. Lewat klaim ini kemudian Zionisme-Israel mencoba bebas untuk menguasai negeri milik rakyat Palestina. Karena pada dasarnya, kaum Israel sama sekali tak punya tanah, karena sudah lama hidup dalam pengangsingan dan terkesan bangsa yang terbuang, Karena sejatinya, Zionisme lahir sebagai solusi bagi problem Yahudi (Jewish Problem).
Dilandasi itu semua mereka mencoba merebut “hak” mereka kembali. Dan dengan kenyataan seperti itu lah dapat disebut Zionisme sebagai bentuk kolonialisme dan imperialisme gaya baru. Hadirnya al-Masīh yang dimitoskan akan hadir menyelamatkan Yahudi tidak lagi dipahami dari sisi mukjizat, melainkan usaha (efforts) kaum Yahudi itu sendiri. Artinya, jika mau menguasai Palestina, maka tidak boleh hanya menunggu datangnya ‘Sang Juru Selamat’, tapi Yahudi harus berusaha sendiri, salah satu tindakan yang dimaksud bisa diaplilkasikan dengan jalan perang yang membabi buta.
Apa yang kita saksikan di Palestina sebenarnya adalah aplikasi dari para pendukung Zionisme itu. Dimana penembakan bebas dan liar dapat kita saksikan setiap hari. Itu lah ‘sarapan’ pagi warga Palestina. Satu situasi yang sangat menyayat hati. Tapi siapa yang peduli?
Sejak lama, Hertzl (m. 1904) ingin mendirikan negara Yahudi di Palestina. Idenya ini dia tuangkan dalam bukunya Der Judenstaat atau Negara Yahudi (1896). Dan sudah sering dia memohon kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk menyerahkan Palestina. Mendengar permintaan seperti itu yang disertai dengan imbalan bantuan keuangan dengan jumlah sangat besar, Sultan Abdul Hamid II dengan tegas berkata, “Jangan lagi engkau membicarakan soal ini. Saya tidak akan menyisihkan sejengkal pun tanah Palestina, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka...Biarkanlah orang Yahudi menyimpan uang mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka.”
Sejak kematian Herz tahun 1904, disimpulkanlah bahwa sejarah Zionisme sejatinya “sejarah usaha Hertzl” (the history of Zionism is the history of Hertzel’s efforts). Saat umat Islam di mana-mana menggelar aksi menentang pembunuhan Syekh Ahmad Yassin, Menteri Pertahanan Israel, Saul Mofaz, cukup berujar, ''Biarkan saja, mereka juga nanti akan lupa.'' Israel membela aksi militernya di Gaza sebagai bentuk pembalasan terhadap penyanderaan seorang tentaranya. Untuk itu, Israel menerapkan hukuman kolektif, yaitu Semua penduduk Palestina adalah bersalah. Logika ini didukung AS dan sekutu-sekutunya. Tapi sebaliknya hukum ini tidak berlaku jika ada tentara AS yang membantai dan menyiksa kaum Muslim di Irak, Afghanistan, Guantanamo, dan sebagainya. Tentu saja umat Islam harus maklum akan kondisinya. Umat Islam adalah pihak yang kalah, teraniaya, terzalimi, terpojokkan. Semua itu terjadi karena umat Islam lemah, tidak disegani oleh umat-umat lain. Kalau boleh saya katakan bahwa umat Islam saat ini sulit untuk disatukan dibawah satu payung kebersamaan, sehinnga seberapa pun “gigitan” yang digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap Yahudi tetap saja akan kurang menggigit.
Orang Yahudi yang jumlahnya tak lebih dari 16 juta jiwa, berani mempermainkan umat Islam. Israel tentu paham, meskipun berjumlah sekitar 1,3 miliar jiwa, umat Islam bagi mereka tidak akan sekuat yang dibayangkan orang jika tidak bersatu melawan Israel, sehingga tak perlu disegani dan ditakuti, apalagi dengan dukungan penuh AS serta sekutu-sekutunya mereka makin percaya diri menancapkan kekuasaanya di ranah para syuhada’.
Meskipun minoritas dibanding jumlah Umat Muslim dunia, mereka adalah para pekerja tangguh dan memiliki perencanaan jelas dalam pergerakan mewujudkan negara Israel. Dalam Kongres Zionis I di Basel, 1897, pendiri Zionisme modern, Theodore Herzl, sudah mencanangkan berdirinya negara Yahudi, dan dalam tempo 50 tahun kemudian, rancangan itu terwujud dengan berdirinya negara Israel 14 Mei 1948.
Bagaimana mungkin bangsa kecil yang mengalami penindasan 2000 tahun ini berhasil survive dan bahkan kemudian menjadi salah satu kekuatan dunia (world power). Yang pasti Yahudi selamat, lebih karena menggunakan “otak', dan bukan hanya kekuatan fisik.

Bisa dikalahkan.

Resolusi, demonstrasi, kutukan, adalah bentuk aksi umat Islam menentang kebiadaban Israel selama ini. Tentu, ini tidak salah, bahkan sangat bermanfaat. Tetapi, energi “kemarahan” umat ini harusnya dipelihara, disalurkan ke dalam bentuk perlawanan yang berkelanjutan. Realitas politik menunjukkan, banyak penguasa di dunia Islam yang menggantungkan kekuasaannya kepada negara-negara Barat yang menjadi pendukung Israel
Israel memiliki kemampun untuk membalikkan kebenaran, yang benar jadi salah. Perjuangan melawan hegemoni Yahudi dan kroninya adalah perjuangan panjang dan membutuhkan keseriusan, ilmu dan kesabaran. Maka, Sudah saatnya umat Islam melakukan kerja keras dan kerja cerdas membangun posisi kemandiriannya, terutama dalam pemikiran, budaya, dan ekonomi. Sehingga tidak lagi memiliki ketergantungan kepada bangsa Yahudi.
Sangatlah sulit dibayangkan, bagaimana kaum Muslim mau melawan Yahudi, sedangkan untuk air minum saja, umat Islam masih merasa nyaman meneguk air kemasan produk Yahudi. Dan sangatlah mustahil mengalahkan Yahudi dan kroninya, jika untuk pemikiran Islam saja, kampus-kampus berlabel Islam bangga menerapkan metode penafsiran Bibel Yahudi untuk penafsiran Alquran. Dan masih banyak lagi hal-hal yang menunjukkan betapa kita masih memiliki ketergantungan akan Yahudi.
Bahaya ini bersifat sungguh-sungguh apalagi kecaman atas Israel masih lemah, Sehingga Israel akan semakin berani melakukan kejahatan. Israel akan mencari sarana untuk mengobati luka hatinya setelah menerima kenyataan pahit menghadapi kegagalan di Libanon padahal saat itu Israel sedang berusaha membangun legendanya sebagai pasukan yang mampu mengalahkan Arab dalam beberapa hari. Enak saja, tidak semudah itu Bung!. (A3) Wallahu a'lam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar