Rabu, 19 Oktober 2011

Berprestasi Dihadapan Ilahi

Dalam menjalani kehidupan, manusia selalu dihadapkan dengan dua keadaan yang saling bergantian, suatu ketika merasakan duka, pada saat yang lain bertukar dengan suka. Pada saat duka seringkali manusia berkeluh kesah, seolah penderitaan tiada pernah berakhir. Sebaliknya, saat merasakan kebahagiaan, manusia sering lupa. Na’izubillah.         
“Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan dia kikir”
(QS. Al-Ma’arij: 20-21)
Ujian merupakan alat ukur keimanan dan ketakwaan seorang, sampai dimana taraf keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Selain bias menyikapi ujian-ujian tersebut dengan positif, manusia juga dituntut untuk bias berprestasi dihadapan Sang Khalik. Ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya adalah sebuah prestasi, dan prestasi itulah yang akan menjadikannya berbeda dengan hamba yang lainnya. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13, artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Disebutkan dalam ayat ini bahwa kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama, tidak ada perbedaan. Adapun yang membedakan di antara mereka adalah dalam urusan diin (agama), yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya. Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan:
“Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
لَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِالدِّيْنِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).
“Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”
Beribadah kepada-Nyadapat melalui dua cara, baik itu dengan ibadah mahdah maupun dengan selainnya. Beribadah dengan selainnya disini dapat berupa apa saja asal diniatkan untuk-Nya, misalnya dengan membaca Bismillahirrrahmanirrahin adalah titik pembeda antara yang amalan ibadah dengan yang bukan.
Sungguh luar biasa, apabila seseorang meraih prestasi tertinggi dengan modal dan bekal yang terbatas. Contoh yang terbesar bagi ummat Islam adalah Baginda Rosulullah SAW. Beliau sejak lahir sekitar 6 bulan dalam kandungan sudah ditinggal oleh ayahandanya tercinta Abdullah bin Abdul Muthalib. Kemudian umur 6 tahun ditinggal oleh ibundanya yang tercinta Siti Aminah, yang akhirnya dibesarkan oleh paman beliau Abu Thalib sampai menginjak dewasa, yang mendidiknya menjadi seorang manusia yang penuh dengan kejujuran dan mempunyai jiwa wirausaha yang kuat.
Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikembangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan. Namun, kalau kita renungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia yang kesemuanya itu kebanyakan bersifat kebutuhan sekunder dan tersier.
Tak pelak dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya.
Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggungjawabannya.
Tetapi sekali lagi, karena tipisnya ikatan manusia dengan syariat Allah, manusia banyak yang tidak menghiraukan halal atau haram, karena memang manusia “tidak punyak hak” untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, kecuali kembali kepada syariat agama Allah. Karena minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak manusia terjerembab ke lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan tidak menutup kemungkinan, para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah bangga dengan “amal dosa” itu, na’udzubillah.
Renungkanlah syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:
رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ وَيُوْرِثُكَ الذُّلَ اِدْمَانُهَا، وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ الْقُلُوْبِ وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا.
“Aku lihat perbuatan dosa itu mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan. Sedang meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi diri(mu) bila meninggalkannya”
Prestasi manakah yang akan kita ukir? Prestasi barrun, taqiyyun, karimun (baik, taqwa, mulia!) Ataukah prestasi fajirun, syaqiyun, Dzalilun (ahli maksiat, celaka, hina) sejauh mana kita menyikapi ajaran Allah dan RasulNya. Perhatikanlah wasiat Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
أَيُّهَا النَّاُس إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ.
“Wahai manusia, ketahuilah bahwasanya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari yang berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
• Zhalimun linafsihi: Orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah haramkan (yang dilarang)
• Muqtashid: Orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
• Sabiqun bil khairat: Orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak seorang pun di antara kita yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ.
“(Jalan) menuju Jannah itu penuh dengan sesuatu yang tidak disukai manusia, dan (jalan) Neraka itu dilingkupi sesuatu yang disukai oleh syahwat”.
mengenang perjalanan yang telah lewat, akan memberi motivasi untuk menambah amal-amal dan memperbanyak tabungan kebaikan. Sejujurnya, setiap orang bisa meraba, sejauh mana sebenarnya prestasi amal yang telah dibuatnya. Apakah titik-titik kemuliaan kemuliaan amal yang dilakukannya lebih banyak. Ataukah sebaliknya, noda-noda kehinaan yang telah dikumpulkannya. Rasulullah mengabarkan, kelak, setiap orang mati dan hendak memasuki kuburan, bisa merasakan apa kira-kira yang akan dibalaskan untuk dirinya.
Begitulah bercermin pada masa lalu, insya Allah akan mendapatkan banyak manfaat. Bercermin pada masa lalu, bekerja keras hari ini dan menata hari esok adalah salah satu usaha menyiasati hidup agar lebih baik. Maka jangan segan untuk menoleh ke belakang demi meraih masa depan cemerlang.
Setidaknya Untuk meraih prestasi yang optimal, ada tiga syarat yang harus dilakukan yaitu:
1. Niat
Niat yaitu tekad mencapai sesuatu disertai dengan perbuatan. Didalam mencapai sesuatu, niat merupakan kunci utama untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan sesuatu yang sedang dikerjakan, karena manusia tanpa tekad dan optimisme yang tinggi maka segala sesuatu yang ia capai tidak akan mempunyai manfaat apa-apa bahkan gagal, karena yang ada pada dirinya rasa tidak yakin atau percaya ( pesimis ) akan keberhasilan sesuatu yang ia kerjakan.
Jika manusia mempunyai rasa tidak yakin akan keberhasilan sesuatu yang dikerjakan sedangkan Allah selalu mengkabulkan sesuatu sesuai dengan yang ia niatkan maka ia sudah berburuk sangka ( Su-udzzon ) terhadap Allah. Didalam hadits Qudsi, Allah berfirman: “ Aku tergantung pada prasangka hambaku ”
2. D o a
Sesudah manusia niat mengerjakan sesuatu dan mempunyai rasa optimis (Husnu dzon) terhadap Allah, maka manusia dituntut untuk berdoa memohon diterima segala apa yang ia kerjakan karena Allah Maha Kuasa sedangkan manusia makhluk yang sangat lemah yang selalu tergantung kepada-Nya.
Sebagai makhluk Allah yang lemah, manusia sangatlah sombong jika tidak mau berdoa, Allah sangatlah murka terhadap orang-orang yang sombong. Tuhanmu berfirman: " Berdoalah kepadaku pasti Aku perkenankan ”.

      •        
" Dan orang-orang yang sombong (tidak mau berdoa) kelak mereka akan masuk neraka Jahanam secara hina ” ( Al-mukmin:60 ). ”
Doa yang dikabulkan oleh Allah adalah doa yang dilakukan dengan Ikhlas, Khusyu penuh Tawadhu (Rendah hati), yakin akan diterima dan dilakukannya sesuai dengan tata cara doa yang baik. ” Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara lembut (khusyu). Sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang berlebihan “ ( Al-a’rof:55 ).” Allah pasti diterima, Cuma cara Allah mengabulkan doa hambanya berbeda-beda. Ada tiga cara Allah mengkabulkan doa hambanya: pertama, Allah mengakhirkannya, kedua Allah menggantinya dengan yang lebih baik bagi hambanya, dan yang ketiga, Allah menyelamatkan hambanya dari mara bahaya dikarenakan doanya.
3. Ikhtiar (berusaha).
Berusaha merupakan syarat untuk tercapainya sesuatu, tanpa usaha tidak mungkin akan tercapai sesuatu karena qudrat ( kehendak ) Allah, yang baik atau yang buruk yang telah ditentukan kepada manusia tergantung usaha manusia itu sendiri mau yang baik atau yang buruk dan kesungguhan mereka dalam berusaha.
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib sesuatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya “ ( Ar-ra’d:11 ). ”
Untuk meraih prestasi puncak kita butuh sebuah pernyataan tentang hasil atau kinerja yang ingin kita raih. Definisikanlah prestasi puncak yang ingin kita raih di masa yang akan datang. Dengan jelasnya prestasi puncak yang ingin diraih maka akan mudah mengarahkan segala rencana dan aktivitas kita. Dan usaha kita akan lebih terfokus dan menimbulkan motivasi yang baik untuk meraih prestasi puncak.
Wallahu ‘alam bi-shawab [A3]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar