Rabu, 19 Oktober 2011

Seri kajian Filsafat Islam

INI DULU BARU ITU
( At first Islamic Philosophy and the next Western Philosophy)
Dalam hal ini yang saya maksudkan adalah mengenal filsafat islam sebagai bagian dari kerangka berfikir, dan agar jangan terlalu terperosok ke dalam jurang filsafat barat yang terkadang membahayakan. Dengan mengenal segala macam filsafat yang telah, sedang, dan akan terus berkembang dalam Islam maka setidaknya kita telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukankah mengenal dan mengetahui tokoh sekaliber al-Faroby lebih baik ketimbang Socrates, ataupun Rene Descartes?
Keadaan dunia yang seperti saat ini pasti ada yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai itu yang pertama ialah agama, dan yang kedua ialah filsafat. Orang yang mewarnainya juga ada dua, pertama nabi dan ulama, dan yang kedua filosof. Satu kenyataan yang pasti adalah bahwa seorang ilmuan beserta tekhnologi tidak ikut berperan dalam mewarnai dunia. Karena pakar sains dan tekhnologi menggunakan sains dan tekhnologi tersebut untuk mewarnai dunia berdasarkan pandangan hidupnya, jadi jelaslah bahwa pandangan hidup itu hanya ada dua: Agama dan filsafat. Tulisan ini hanya sekedar pengantar tentang filsafat Islam yang gaungnya tidak sekeras gaung filsafat barat di kalangan banyak pihak.
Semuanya tak lepas dari masalah waktu dan dominasi. Akal mengalami kekalahan peran di barat sekitar tahun 200-an masehi hingga 1600-an masehi. Setelah sebelumnya filsafat Yunani yang menguasai sebagian besar dunia. Pada saat itu agamalah yang mendominasi dunia, dan ini membuktikan adanya ketidakseimbangan antara agama dan filsafat (Hati dan akal).
Sedangkan dalam islam sendiri filsafat muncul sejak 80-an samapai 1200-an masehi, pada saat tersebut filsafat berkembang pesat dengan tidak mengganggu perkembangan agama islam, jadi keduanya berjalan berbarengan dan seirama. Sejarah telah mempertontonkan adanya manusia yang berani mati untuk dan karena agama yang dianutnya. Agama lebih menggunakan pendekatan hati ketimbang pendekatan akal yang banyak digunakan dalam filsafat.
Yang jelas dalam filsafat Islam tidak pernah terjadi agama bersitegang dengan akal, justru akal memantapakan iman dalam hati pemiliknya untuk lebih dekat dengan yang Maha Satu. Kebijaksanaan atau pengetahuan sejati itu tidak mungkin didapat oleh satu orang saja. Sejarah mencatat bahwa setelah munclnya seorang filsuf, muncul kemudian filsuf lainnya yang mengoreksi ataupun menguatkan penemuan yang pertama serta mengajukan gagasan-gagasan yang memperbaharui gagasan pertama, demikianlah seterusnya sepanjang kehidupan manusia berlangsung. Hal ini dimungkinkan karena keingintahuan manusia yang besar sebagai refleksi dari potensi kemanusiaan yang dimilikinya yang dianugerahkan oleh Allah Swt, yaitu akal, intuisi, alat inderawi dan kekuatan fisik.
Diantara para filosof Muslim yang beredar dalam kurung waktu tersebut (abad 1 – 12 Masehi) adalah:
1. Al-Kindi ( 769-873 Masehi)
2. Al-Razi (863-925 Masehi)
3. Al-Faraby (870-950 Masehi)
4. Ibnu Sina (980-1037 Masehi)
5. Al-Ghozali (1059-1111 Masehi)
6. Ibnu Rusyd (1126-1198 Masehi)

Selain mereka ada juga Ibnu Tufail, Ibnu Bajjah dan sederet tokoh Mistisme Islam ( yang lebih dikenal sebagai tokoh sufi: ahli tashawwuf) diantaranya:
1. Rabi’ah al- adawiyah (713-801 Masehi)
2. Zunun al-Mishry (860 Masehi)
3. Abu Yazid al-Busthami (874 Masehi)
4. Hussain Ibnu Manshur al-Hallaj (858-922 Masehi)
5. Muhyiddin Ibnu Araby (1165-1240 Masehi) dan masih banyak lagi yang lainnya.

Philosphia dalam bahasa arabnya adalah muhibbu al-hikmah. Kata Sophia dipindahkan oleh orang arab kedalam bahasa Arab dengan kata hikmah. Sebagaimana dalam surat al-baqarah, 2:269:
                  
Artinya:
Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).(al-baqarah, 2:269).
Secara sederhana dapat dikatakan filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan Filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan dan alam yang disinari oleh ajaran Islam. Dalam Perkembangan akhir-akhir ini, cakupan Filsafat Islam itu diperluas kepada segala aspek ilmu yang terdapat dalam khazanah pemikiran keilsaman, yang meliputi Ilmu kalam, Ushul Fiqh, dan Tasawwuf.
Tentang penamaan disiplin ilmu ini, terdapat dua versi pendapat, yaitu Filsafat Islam dan Filsafat Arab. Tetapi kalau ditelaah lebih jauh lagi, penggunaan istilah Filsafat Arab kuranglah tepat karena kebanyakan Filsuf yang membangun ilmu ini bukanlah orang Arab, melainkan orang Persia, Turki, Afganistan, Spanyol dan lain-lain. Walaupun kebanyakan karya mereaka ditulis dalam bahasa Arab, tetapi orang Arab belum mengenal ilmu ini sebelum ekspansi Islam. Jadi, amatlah tepat kalu kita menamakannya sebagi Filsafat Islam.
Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam
Sebagaimana dimaklumi, kalam yang dimaksudkan adalah firman Allah. Pada abad permulaan hijrah, firman Allah dipersoalkan, apakah sesuatu yang baru ataupun qadim?. Hal tersebut berawal dari perseturuan dua kubu. Mu’tazilah adalah kelompok yang mempercayai bahwa firman Allah t ersebut adalah sesuatu yang baru, sedangkan yang beranggapan bahwa firman Allah itu qadim adalah Ibnu Hambal dan Asy’ariah, dan kemudian meluas ke persoalan ketuhanan lainnnya, mempergunakan dalil-dalil akal “melebihi dalil naqli yang tampak pada perbincangan mutakallimin.
Dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, antara Filsafat Islam dan Ilmu Kalam dapat dibedakan. Filsafat Islam mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya, Allah, alam dan manusia, tanpa terikat dengan pendapat yang ada. Nash-nash agama hanya menajdi bukti untuk membenarkan temuana akal. Sebaliknya Ilmu Kalam mengambil dalil akidah sebagaimana tertera dalam wahyu, yang mutlak kebenarannya untuk mengkaji objeknya, Allah dan sifat-sefatnya, serta hubungan Allah denga alam dan manusia dan menjadikan filsafat sebagai alat yang membenarkan nash agama. Contohnya Filsafat Islam mengawali pembuktiannnya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan wahyu, sementara ilmu Kalam mencari wahyu yang bertbicara tentang keberadaan Tuhan, baru kemudian didukung oleh argumentasi akal. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi keduanya saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan aqidah Msulim.
Hubungan Filsafat Islam dengan Tasawwuf
Tasawwuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim berada sedekat mungkin dengan Allah Swt, dapat dibedakan menjadi Tasawwuf Amali / Akhlaqy, dan Tasawwuf Falsafi. Dari pengelompokan ini tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam menjelaskan maqomat (a-lfana’, al-baga’, Ittihad, hulul, wahadatu al-wujud). Adapun perbedaan antara Filsafat Islam dan tasawwuf dapat dijelaskan sebagai berikut: Objek filsafat membahas segala sesuatau yang ada, baik fisika maupun metafisika yang dikaji dengan memperguanakan argumentasi akal dan logika. Objek Tasawwuf pada dasarnya mengenal Allah, baik dengan jalan ibadah maupun melalui ilham dan intuisi. Karena itu Sufi disebut juga al-Ubbad ( ahli ibadah) dan al-Zuhhad (ahli zuhud).
Hubungan Filsafat Islam dengan Ushul Fikih
Dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum diperlukan Ijtihad, yaitu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Mengingat pentinganya ijtihad, para pakar hukum islam mengangggapnya (Ijtihad) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-qur’an dan Hadis. Termasuk dalam ijtihad adalah qiyas yakni menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada naskh hukumnya dengan hukum sesuatu yang lain yang ada naskh hukumnya atas dasar persamaan illat (sebab). Selain Qiyas ada juga al-istihsan dan al-Mashalih al-Mursalah.
Dari tiga contoh ilmu keislaman yang diutarakan, ketiganya memiliki hubungan dengan fislasat Islam, tergambar adanya peraturan yang saling mengisi. Hal ini terbukti dalam sejarah para Filsuf yang memadukan filsafat, ilmu dan agama menjadi satu kesatuan yang saling mendukung.
Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani
Pemikiran Yunani dapat dibagi kepada dua zaman:
1. Zaman Yunani atau Helenis
Zaman ini ditandai dengan munculnya pamikir-pemikir Yunani dari abad VI SM sampai akhir abad IV SM. Diantara pemikir-pemikir atau aliran-aliran itu adalah filsafat alam dari Milite yang cenderung Meterialistis, aliran atomistis yang didukung oleh Leukippos dan Demokritos, Kaum Elea yang bercorak mistis dan matematis, Kaum Sofist, Socrates, Plato, Aristoltes, dan aliran Peripetetik yantg menekankan pada aspek epistimilogi, etika, aksiologi dan kemanusiaan.
2. Zaman Helenistis-Romawi, yakni setelah Aristotles (322 SM). Dimulai dengan Pemerintahan Alexander the Great ( 356-326 SM).
Pada masa ini Filsafat Yunanai tidak hanya terjadi di Yunanai saja, tapi telah meluas sebagai warisan Yunani yang dikembangkan oleh orang-orang Romawi, dan oleh pemikir Mesir, Syria dan sekitarnya. Zaman ini diawali pada abad IV SM sampai pertengahan abad VI M di Romawi barat yang berpusat di Roma, dan di Byzantium (Romawi Timur) sampai pertengahan abad VII M yang berpusaat di Alexandria (Iskandariah). Dengan kata lain samapi munculnya era filsafat Islam yang ditandai dengan masa penerjemahan lewat lembaga Bait al-hikmah di Baghdad.
Helenistis-Romawi dapat dibedakan kepada tiga masa perkembangan. Pertama, dari akhir abad IV SM hingga pertengahan abad I SM, pada masa ini dikenal terdapat aliran Stoa, Epikurus, dan Skeptisisme. Kedua dari pertenganhan abad I SM hingga pertengahan abad III M. Di zaman ini terdapat aliran yang diantaranya aliran Stoa-akhir, Neo-Pythagoreanisme, Epikurus-akhir dan Hlenisme Yunani, zaman ini bersifat ekliktik. Ketiga dari pertengahan abad III M hingga pertengahan abad VI M di Romawi Barat, hingga abad VII M di Byzantium, di zaman ini ditandai dengan adanya dominasi pemikiran Neo-Platonisme yang lahir dan berkembang di Iskandaria.
Filsafat Yunani sendiri terbelah ke dalam dua aliran besar yang mana kedua aliran ini sering dan saling dipertentangkan satu sama lainnya, aliran yang dimaksud mengacu kepada pemikiran Plato dan Aristotles. Plato yang dalam kehidupannya bergaya mistis, menekankan olah pikir daripada apa yang dapat dialami atau ditangkap oleh penca indra. Dengan kata lain Plato lebih berpegang pada akal dan idea, serta mengabaikan empirisme. Corak berfikir Plato ini menjadi benih rasionalisme dalam menerangkan sesuatu, dan menjadi idealisme bila berkaitan dengan nilai. Lain halnya dengan Aristotles yang lebih menyenangi kehidupan meteri, dan lebih menekankan kepada cara berfikikr realis, karena itu ia sangat menjunjung tinggi empirisme, boleh jadi kecendrungannya tersebut dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi dan kedokteran.
Pada awalnya negara-negara seperti Mesir dan Suriah yang kental dengan aroma filsafat Yunani, namun pada era Khulafa’ al-Rasyidun dan Daulah Umayah, Filsafat Yunani tersebut belum dikembangkan karena pada masa ini perhatian umat Islam terfokus pada penaklukan wilayah dan lebih menonjolkan kebudayaan Arab. Barulah pada zaman Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad mulai diperhatikan secara serius Filsafat ini, terutama pada masa Al-Ma’muin (813-833 M) Putera Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan zaman penerjemahan.
Sebenarnya Penerjemahan buku-buku kedalam bahasa Arab sudah dimulai semenjak permulaan Daulah Umaiyah, kegiatan ini disponsori oleh Khalifah Khalid ibn Yazid, tetapi buku-buku ilmiah yang diterjemahkan pada waktu itu masih berkaitan dengan keperluan praktis, seperti kimia dan kedokteran. Kegiatan penerjemahan mencapai zaman keemasannya pada masa Khalifah Al-Ma’mun, yang juga mendirikan bait al-hikmah.
Disaping Kota Baghdad, juga ada kota-kota lain yan dijadikan sebagai pusat pengembangan sanis dan filsafat, yaitu kota Marwa (Persia tengah), Jundisyapur, dan Harram. Penerjemahan ini bukan hanya buku-buku pengetahuan yang berbahasa Yunani tetapi juga bahasa Persia dan Suryani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan adanya Penerjemahan ini umat Islam telah mampu dalam waktu yang relatif singkat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan yang sangat maju pada waktu itu, yakni Yunani, persia, dan India. Warisan intelektual tersebut dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi suatu kebudayaan yang lebih maju. Namun sangat disayangkan kejayaan Islam dan segala macam ilmuhnya hanya dapat berlangsung sampai abad XIII M, kemudian orang-orang barat memindahkan pusat ilmu pengetahuan tersebut Eropa. Dengan demikian, umat Islam saat ini harus bekerja ekstra keras kembali untuk meraih permata kita yang hilang, seolah-olah saat ini terjadi “helenisme gelombang ke II”. Jadi bersiaplah untuk merebut apa yang seharusnya kita miliki.
“ Wisdom is the lost property of the believer, take it sherever you fin it” [A3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar