Rabu, 19 Oktober 2011

Uji Materi Film oleh LSF

Tak dapat dipungkiri, kehadiran film-film dan Production House(PH)yang berkembang pesat di Indonesia membuat kita berbangga” sejenak”setidaknya ada media entertainment yang melahirkan Film-film/sinetron yang berkualitas, mendidik, dan bebas, bertanggung jawab dengan tetap memperhatikan keluhuran budi pekerti, itu harapan kita.Seiring berjalannya waktu, masuknya film-film asing ke tanah air yang beberapa diantaranya tidak melalui proses sensor terlebih dahulu, akan sangat berdampak pada industri perfilman Indonesia yang sedang dalam tahap berkembang.Mau tak mau melalui Televisi, Bioskop, layanan internet, dan alat-alat audio visual lainnya bila tidak tepat penggunaannya akan mencetak generasi bobrok mental.
Berawal dari keprihatinan tersebut, MUI dan beberapa sineas Perfilman terkait melakukan uji materi dalam sidang mahkamah konstitusi dalam rangka uji pasal UU no 8 Tahun 1992 tentang perfilman.
Kinerja Lembaga Sensor Film(LSF)dipertanyakan, kalau kenyataannya demikian, keberadaan LSF berarti omong kosong.Ada LSF saja masih ada film yang tidak pantas ditampilkan berkeliaran menghiasi layar kaca Indonesia, terbukti dengan masih adanya adegan yang tak layak tampil dan itu tidak terdeteksi apalagi kalau tidak ada LSF.Ini bukti bahwa penyensoran film di Indonesia masih sangat lemah.
Berlawanan dengan itu semua, tidak sedikit yang menyayangkan penyensoran film yang dianggap mematikan nilai estetika dan membatasi ruang kreasi, labih dari itu kelakuan tersebut juga membajak hak orang untuk berinovasi dalam persaingan dunia perfilman modern.Pihak pengaju yang dimotori oleh sutradara muda Riri Reza mengatakan”selama ini tidak ada parameter penyensoran film yang jelas”.Ia dan kawan-kawannya menawarkan&mendambakan sebuah lembaga klasifikasi yang independen, transparan sebagai pengganti LSF.Pernyataan tersebut dibalas oleh Titi Said(Ketua Lembaga Sensor Film)yang juga setuju dengan klasifikasi film tapi tetap menolak film jorok.Film-film yang tidak disensor dan didalamnya ada adegan yang tidak diharapkan tampil, sedangkan pemutarannya dilakukan pada saat Prime time&siang hari akan berakibat sangat fatal.
Adegan yang hingga kini banyak dipermaslahkan adalah adegan yang tidak semua umur boleh menyaksikannya, diantara yang paling menyita perhatian adalah 3 hal:Misteri(termauk kepercayaan yang tidak memiliki landasan yang jelas)yang bisa saj mendangkalkan aqidah, Percintaan(aksi porno) yang kebablasan dan lebih condong kepada seks, dan kekerasan.ketiga hal tersebut dapat menjadi suntikan rangsangan kepada generasi muda khususnya untuk menjadi generasi Cabul, radikal dan brutal melaui praktek seks bebas, praktek judi, mengkonssumsi obat-obatan dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu akan berdampak kolektif dalam kejatuhan moral bangsa.Ada LSF saja manish ada film yang “lepas”apalagi tidak ada pasti praktek 3 hal tersebut pasti akan lebih nyata di obral didepan kamera.Oleh kerana itu, diperlukan tatanan hukum yang mengatur itu semua melalaui LSF. Hany saja harus ada tatanan baru yang bisa diterima semua pihak untuk merevisi apa yang ada dan bisa mengakomodir kepentingan bersama.
LSF melanggar HAM?never!HAM memang selalu dijadikan tameng ampuh dalam melakukan kebebasan berekspresi, karena HAM itu ada batasnya, justru Film yang tidak pantas telah memberikan porsi yang tidak layak kepada konsumen.Adegan kekerasan, dan seks sudah menyangkut ke masalah norma agama dan kesusilaan.Dan sebab itu kelompok berpendidikan pasti berharap adanya lembaga yang membentengi itu semua yang berlaku Ius Constituendum(tanpa akhir), keputusan LSF adalah paksaan bukan hanya pelengkap.
Scara kasat mata, masalah ini masuk dalam kategori hukum perdata karena berpolemik resmi dan hanya badan-badan tertentu yang terlibat, tapi dampak yang ditimbulkan akan sangat mudah menyebar di masyarakat luas.
Masalah tersebut sebenarnya sudah dilaporkan sejak pertengahan bulan November tahun lalu(2007), tetapi baru dibahas baru-baru ini, tak pelak itu bukti bahwa penaggulangan akan masalah sensor sangatlah lambat, padahal kalau dibiarkan berlarut-larut menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang mana hal tersebut akan sangat berbahaya.
Disanping itu LSF juga harus memperhatikan aspek estetika dengan tetap mengedepankan etika dengan cara ada batasan dalam memotong adegan dengan tidak berlebihan karena disamping menghilangkan keindahan dari utuhnya sebuah film juga akan mengaburkan visi dan misi dari film tersebut yang dimaksudkan kepada konsumen.Mana yang perlu dipotong, dipotong, yang tidak perlu jangan dipotong
Para sineas menuntu LSF dibubarkan dan diganti dengan Lembaga Klasifikasis Film(LKF), karena LSF dianggap tidak bisa menerima keragaman.Sesungguhnya yang diguagt hanya satu:Sebuah pasal dalam UU yang mempersoalakan adalah serombongan sineas dan pecinta film yang merasa dirugikan dengan adanya sensor film, mereka menamai diri sebagai Masyarakat Film Indonesia(MFI).Hal tersebut ditentang oleh LSF yang mengatakan penyensoran film adalah suatu keharusan dinegara multietnik&penganut berbagai agama ini.Sekali lagi para sineas yang tidak setuju dengan LSF memberikan pandangan bahwa masyarakat Indonesai sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang layak dan baik bagi dirinya sendiri.
Untuk melindungi anak-anak dari film ini, Indonesia sudah bisa mendirikan apa yang biasa disebut seabgai Lembaga Klasifkasi.Biarkan Lembaga ini yang menentuan kelayakan sebuah film, mana yang boleh ditonton keluarga, anak-anak ataupun khusus orang dewasa.Tindakan tersebut juga harus mendapat dukungan dari pihak lain semisal pengelola bioskop harus lebih selektif dalam pengawasan terhadap konsumen yang ingin menyaksikan film.Pihak lain yang tak kalah pentingnya dalam memegang peranan sebagai pengawas pastinya adalah kedua orang tua, karena merekalah yang paling berwenang dalam memberikan pagar perlindungan kepada putra-putri meraka.Selanjutnya perlu diingat bahwa anak-anak itu adalah tanggung jawab orang tua masing-masing.(Arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar